Laman

Friday 5 November 2010

Wahai Anak Manusia....!

“Sebelum menjadi apapun…

setiap kita adalah hamba Tuhan dan anak kedua orang tua kita”

Statement di atas berangkat dari dua fakta yang berlaku pada setiap manusia, tanpa terkecuali! Pertama, tidak mungkin seorang manusia ada tanpa ada Tuhan yang menciptakannya. Kedua, tidak mungkin diri seorang manusia lahir kecuali karena ia adalah anak dari sepasang manusia: ibu dan bapak.

Beberapa landasannya adalah: Pertama, dalam perspektif agama, terdapat di As-Sajadah: 8-9

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ ، ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ ، ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ.

“Dan Dialah (Allah) yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudia Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani), kemudian Dia menyempurnakannya dan menyempurnakannya dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.”

Dua fakta ini berlaku kepada seluruh manusia secara universal, lintas waktu dan tempat. Sebab itulah ada pesan universal kepada manusia seluruhnya:

واعبدوا الله ولا تشركوا به شيئا وبالوالدين إحسانا ….

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak….” (Q.S. An-Nisa’: 36)

Kita diminta bersyukur dengan tidak abai pada Tuhan dan orang tua kita. Artinya, hubungan anak dengan ibu bapaknya adalah standard syukur paling pertama dan utama dalam kemanusiaan kita. Mulia atau hina nya seseorang secara kemanusiaan diukur dari berbakti atau durhaka nya seseorang anak kepada kedua orang tuanya. Apalagi mereka yang durhaka kepada orang tuanya, berbuat zalim kepada orang tua yang lain, serta menyulitkan orang untuk berbakti.

Kedua, bagi anak Indonesia kita mengenal dalam negara kita dua nilai serupa, penghambaan terhadap Tuhan dan berbakti terhadap orang tua, dalam banyak pesan. Diantaranya dalam Pancasila. Dalam kandungan dua sila dasar negara kita. Secara normatif para founding fathers (pendiri bangsa) mengingatkan kedua hal tersebut, bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” merupakan dua hal yang paling mendasar dalam kebangsaan kita. Adil adalah “menempatkan sesuatu pada tempatnya” dan beradab adalah “melaksanakan sesuatu dengan cara terbaik”.

Dalam kaitannya dengan praktik berbakti pada orang tua, seorang anak yang dapat menempatkan diri dan bersikap mulia kepada orang tuanya akan mendapatkan reward sosial dari lingkungannya. Mirisnya, alih-alih mengingat segala kebaikan kedua orang tuanya, banyak diantara kita sering mendengar perkataan seorang anak yang menisbatkan kegagalannya kepada orang tua mereka.

“Saya bernasib hancur begini, jelas karena bapak ibu saya membawa sial !”

Statement semacam ini jelas menunjukkan sikap yang sangat emosional dan tidak dewasa. Seakan orang tua sekedar tempat untuk melempar keburukan yang terjadi. Sementara kondisi “sukses” yang kita dapatkan tak mampu membuat kita berterima kasih kepada mereka.

“Saya sukses karena kerja keras saya, bukan karena kedua orang tua saya!”

Tabiat melupakan kedua orang tua saat sukses, dan melempar keburukan saat gagal adalah budaya kita yang direkam dalam sebuah pesan cerita rakyat.

Dalam kisah ‘Malin Kundang’ dalam cerita rakyat tentulah menunjukkan bahwa berbakti merupakan nilai dasar manusia Indonesia. Kebencian terhadap mereka yang durhaka sampai disimbolkan dengan kisah akhir Malin yang membatu. Tidak ada nilai penghargaan sedikitpun kepada yang durhaka, meski sang Malin gagah tampan dan sukses sebagai saudagar. Tak heran jika dalam budaya kita, tokoh atau figur publik sehebat apapun, dapat tiba-tiba jatuh reputasi dan karirnya ketika ia berlaku tak pantas pada kedua orang tuanya. “Sanksi” atas kedurhakaan memang tidak pernah menunggu hingga kita mati. Ia menghampiri lebih cepat dan menghukum lebih dahsyat.

Maka, berbakti kepada kedua orang tua baik dalam agama maupun bangsa kita telah dianggap sebagai kisah fundamental pertama dalam hidup. Ia kewajiban yang tak hilang dengan kematian kedua orang tua. Sementara sebagai anak, meski diri kita meninggal kita tetaplah anak orang tua kita. Paling tidak dalam nisan kita tertulis “….. bin/binti …..” yang menunjukkan bahwa kita adalah anak dari “….”

Jelasnya posisi “berbakti” dalam kehidupan manusia, melahirkan sebuah kesimpulan sederhana yang sangat penting untuk dicamkan:

“sikap kepada orang tua adalah parameter kemanusiaan. Jika baik interaksi anak dengan orang tuanya, maka baiklah kualitas kemanusiaannya. Begitupun sebaliknya, jika buruk kualitas berbaktinya maka tiada nilanya segala kesuksesan diri di kehidupan lainnya.”

No comments:

Post a Comment