Pasang surut yang mewarnai kehidupan sebuah rumah tangga tak hanya dalam hal hubungan pribadi antara suami dan istri, namun juga menyangkut anak dan rizki. Kesabaran dan sikap syukur menjadi modal yang mesti dimiliki dalam hal ini.
Setiap insan yang hidup di muka bumi ini pasti pernah mengalami suka dan duka. Tak ada insan yang diberi duka sepanjang hidupnya, karena ada kalanya kemanisan hidup menghampirinya. Demikian pula sebaliknya, tak ada insan yang terus merasa suka karena mesti suatu ketika duka menyapanya. Bila demikian tidaklah salah pepatah yang mengatakan, "Kehidupan ini ibarat roda yang berputar", terkadang di atas, terkadang di bawah. Terkadang bangun dan sukses, terkadang jatuh dan bangkrut, kadang kalah, kadang menang, kadang susah, kadang bahagia, kadang suka dan kadang duka… Begitulah kehidupan di dunia ini, kesengsaraannya dapat berganti bahagia, namun kebahagiannya tidaklah kekal.
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِيْنَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا وَفِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah di antara kalian serta berbangga-bangga dalam banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kalian lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras/pedih dan ada pula ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Kehidupan dunia itu tidak lain kecuali hanya kesenangan yang menipu.” (Al-Hadid: 30)
Suka duka pun suatu kemestian yang dialami sepasang suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga, karena kesempitan atau kelapangan, kesulitan atau kemudahan datang silih berganti. Ketika diperoleh apa yang didamba, mereka bersuka. Tatkala luput apa yang diinginkan atau hilang apa yang dicintai, mereka berduka.
Sebagai seorang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mengimani takdir-Nya, sudah semestinya suka dan duka itu dihadapi dengan syukur dan sabar. Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan dua sifat ini di dalam firman-Nya:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّاٍر شَكُوْرٍ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi setiap orang yang banyak bersabar lagi bersyukur.” (Ibrahim:5)
Qatadah rahimahullahu menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan, “Dia adalah hamba yang bila diberi bersyukur dan bila diuji bersabar.” (An-Nukat wal ‘Uyun, 3/122)
Rasul yang mulia Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa mukmin yang sabar atas musibah/duka yang menimpanya dan bersyukur atas nikmat/suka yang diterimanya akan mendapatkan kebaikan. Kabar gembira ini tersampaikan kepada kita lewat sahabat beliau yang mulia Shuhaib Ar-Rumi radhiyallahu 'anhu. Shuhaib berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ لَهُ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin. Sungguh seluruh perkaranya adalah kebaikan baginya. Yang demikian itu tidaklah dimiliki oleh seorangpun kecuali seorang mukmin. Jika mendapatkan kelapangan ia bersyukur, maka yang demikian itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kemudaratan/kesusahan1 ia bersabar, maka yang demikian itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 7425)
Ketika menjelaskan hadits di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menyatakan bahwa setiap manusia tidak lepas dari ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan takdir-Nya. Bisa jadi ia dalam kelapangan dan bisa jadi dalam kesempitan. Dalam hal ini manusia terbagi dua: mukmin dan selain mukmin. Seorang mukmin senantiasa dalam kebaikan pada setiap keadaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan baginya. Bila ditimpa kesusahan ia bersabar dan menanti datangnya kelapangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala serta mengharapkan pahala, maka ia pun meraih pahala orang-orang yang bersabar. Bila mendapatkan kelapangan berupa nikmat agama seperti ilmu dan amal shalih, ataupun nikmat dunia berupa harta, anak dan istri, ia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan taat kepada-Nya, karena yang namanya bersyukur tidak sebatas mengucapkan “Aku bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Adapun selain mukmin, mendapat kesempitan ataupun kelapangan sama saja baginya, karena ia selalu berada dalam kejelekan. Bila ditimpa kesempitan/kesusahan ia berkeluh kesah, mencaci maki, dan mencela Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila mendapat kelapangan ia tidak bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang telah memberikan nikmat. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/108)
Seorang mukmin dan mukminah dalam menjalani kehidupan rumah tangganya harus berada di antara kesyukuran dan kesabaran. Karena ia tak luput dari takdir yang baik ataupun yang buruk. Mungkin ia belum dikaruniai anak, maka ia harus bersabar karena anak adalah pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan terkadang Dia menguji hamba-Nya dengan tidak segera atau tidak sama sekali memberinya keturunan.
لِلَّهِ مُلْكُ السَّماَوَاتِ وَاْلأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُوْرَ. أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيْمًا إِنَّهُ عَلِيْمٌ قَدِيْرٌ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa saja yang Dia kehendaki. Dia menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya). Dia pun menjadikan mandul siapa saja yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Asy-Syura: 49-50)
Anak diperoleh bukan karena kemahiran seseorang, bukan karena kejantanan, kekuatan, atau kepandaiannya. Berapa banyak orang yang kuat dan memiliki keutamaan lagi kemuliaan namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberinya keturunan. Lihatlah istri-istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka tidak beroleh keturunan dari pernikahan mereka dengan Nabiyullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali Khadijah radhiyallahu 'anha dan budak beliau Mariyah radhiyallahu 'anha. Lihat pula Nabi Ibrahim dan Nabi Zakariyya ‘alaihimassalam, keduanya dikaruniai anak tatkala usia telah senja, tulang-tulang telah melemah, rambut telah dipenuhi uban dan istri pun telah tua lagi mandul2. Lihat pula Maryam ibunda ‘Isa ‘alaihissalam dikaruniai anak tanpa pernah menikah dan tanpa pernah disentuh oleh lelaki3. Dengan demikian beroleh anak atau tidak, perkaranya kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia yang memberi dan Dia yang menahan.
Bila seseorang diberi nikmat berupa anak, hendaklah ia bersyukur kepada Dzat yang telah memberikan anugerah. Namun bila tidak, maka tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang mukmin kecuali tunduk, sabar, ridha dengan ketetapan-Nya dan berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena Dia tak pernah berbuat dzalim kepada hamba-hamba-Nya. Dia Maha Tahu apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya, sementara hamba-hamba-Nya tidak tahu apa yang baik bagi mereka.
وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Allah Maha Mengetahui sementara kalian tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)
Dalam masalah rizki juga demikian. Ketika seorang mukmin dalam kehidupan rumah tangganya tidak memperoleh rizki yang lapang, dalam kemiskinan tiada berharta, ia pun harus bersabar. Karena kelapangan dan sempitnya rizki, kaya atau miskinnya seseorang telah dicatat dan ditetapkan dalam catatan takdir dengan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia menyempitkannya kepada siapa yang Dia kehendaki, sementara Dia tidak berbuat dzalim kepada hamba-hamba-Nya.
Ingatlah, kenikmatan, kemegahan, dan kekayaan dunia bukan jaminan keselamatan di akhirat nanti. Kalaulah kekayaan itu suatu keutamaan dan keadaan yang paling afdhal niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikan kekasih-Nya, manusia pilihan-Nya, junjungan anak Adam, yakni Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai orang yang terkaya di dunia, bergelimang harta dan kemewahan.
Tapi ternyata tidak demikian kenyataannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam hidup dengan penuh kesahajaan dan kesederhanaan. Terkadang tidak ada makanan yang dapat disantap di rumah beliau sehingga beliau berpuasa. Dikisahkan hal ini oleh istri beliau yang shalihah Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ فَقُلْنَا: لاَ. قَالَ: فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ
Suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke rumahku, lalu bertanya, “Apakah ada makanan pada kalian (yang bisa kumakan)?” “Tidak ada,” jawab kami. “Kalau begitu aku puasa,” kata beliau. (HR. Muslim no. 2708)
Sampai-sampai untuk membeli makanan, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berhutang dengan menyerahkan baju besi beliau sebagai jaminan. Masih dari kisah Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:
اشْتَرَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُوْدِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيْئَةٍ، فَأَعْطَاهُ دِرْعًا لَهُ رَهْنًا
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membeli makanan dengan pembayaran di belakang (akan dibayar pada waktu yang telah ditentukan), beliau memberi baju besinya kepada si Yahudi sebagai jaminan.” (HR. Muslim no. 4090)
Betapa sabarnya istri-istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kekurangan dunia yang mereka terima selama hidup dengan suami mereka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau pun wafat tanpa meninggalkan warisan untuk mereka. Kata ‘Amr ibnul Harits, saudara Ummul Mukminin Juwairiyyah bintul Harits radhiyallahu 'anha:
ماَ تَرَكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ مَوْتِهِ دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَلاَ عَبْدًا وَلاَ أَمَةً وَلاَ شَيْئًا إِلاَّ بَغْلَتَهُ الْبَيْضَاءَ الَّتِي كَانَ يَرْكَبُهَا وَسِلاَحَهُ وَأَرْضًا جَعَلَهَا لاِبْنِ السَّبِيْلِ صَدَقَةً
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala wafatnya tidak meninggalkan dinar, dirham, budak laki-laki, budak perempuan, dan tidak meninggalkan harta sedikitpun kecuali seekor bighalnya yang berwarna putih yang dulunya biasa beliau tunggangi dan pedangnya serta sebidang tanah yang beliau jadikan sebagai sedekah untuk musafir.” (HR. Al-Bukhari)
Demikian sebagai anjuran untuk bersabar dengan kesulitan hidup...
Ketika rizki datang pada si mukmin dan kelapangan hidup menyertainya maka rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala harus diwujudkan. Tidak hanya mengucapkan syukur dengan lisan disertai keyakinan hati, namun harus pula diiringi dengan amalan, yaitu membelanjakan harta tersebut di jalan yang diridhai oleh Sang Pemberi Nikmat dengan infak dan sedekah.
Memiliki rasa syukur ini sungguh suatu keutamaan dan anugerah karena sedikit dari hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mau bersyukur, sebagaimana dinyatakan dalam Tanzil-Nya:
وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
“Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.” (Saba`: 13)
Siapa yang bersyukur, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menambah nikmat-Nya. Adapun orang yang enggan untuk bersyukur, ia akan diazab:
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
“Apabila kalian bersyukur, Aku sungguh-sungguh akan menambah kenikmatan bagi kalian dan sebaliknya bila kalian kufur nikmat maka sungguh azabku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Hadapilah liku-liku kehidupan berumah tangga dengan sabar dan syukur, niscaya kebaikan akan diperoleh. Memang “Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Kemudaratan di sini sifatnya umum, baik yang menimpa tubuhnya ataupun menimpa keluarga, anak, atau hartanya. (Bahjatun Nazhirin, 1/82)
2 Nabi Zakariyya ‘alaihissalam ketika berdoa minta keturunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
“Wahai Rabbku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai Rabbku.” (Maryam: 4)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa Nabi Zakariyya ‘alaihissalam dengan memberi kabar gembira kepadanya akan beroleh seorang putra. Nabi Zakariyya ‘alaihissalam pun takjub dengan berita tersebut hingga beliau berkata dengan heran:
قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُوْنُ لِي غُلاَمٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا
“Wahai Rabbku, bagaimana aku akan beroleh anak, padahal istriku adalah seorang yang mandul dan aku sendiri sudah mencapai umur yang sangat tua.” (Maryam: 8)
3 Ketika malaikat Jibril ‘alaihissalam menemui Maryam dalam bentuk seorang manusia guna memberi kabar gembira kepada Maryam bahwa ia akan beroleh seorang putra, Maryam pun berkata dengan heran:
قَالَتْ أَنَّى يَكُوْنُ لِي غُلاَمٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا
“Maryam berkata, ‘Bagaimana aku akan beroleh anak, sementara tidak ada seorang lelaki pun yang pernah menyentuhku dan aku sendiri bukan seorang pezina?’.” (Maryam: 20)
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Ibn’ Amir menyampaikan, Muhammad Rasulullah S.a.w bersabda, ” Ada dua watak yang apabila keduanya terdapat dalam diri seseorang, maka Allah mencatatnya sebagai orang yang sabar dan bersyukur. Yakni seseorang yang apabila melihat ada orang lain lebih pintar atas dirinya dalam masalah agama, ia mengikutinya. Dan jika ia melihat orang lain lebih miskin dari dirinya, lalu ia memuji Allah atas karunia yang diterimanya. Orang seperti itulah yang dicatat oleh Allah Swt sebagai orang yang bersabar dan bersyukur ” (HR. Tirmidzi)
No comments:
Post a Comment